Adzan shubuh berkumandang di sisi luar jendela. Sayup. Cahaya matahari masih belum nampak ketika aku sibuk memeriksa kembali barang-barang bawaanku. Aku sudah bangun sekitar 1 jam lalu. Tidak biasanya aku bisa sebegini rajin bangun pagi. Bangun sebelum adzan shubuh terdengar. Rekor!
Kamar hotel tempat aku menginap sungguh membuatku tidak nyaman. Bukan karena kasurnya. Atau karena kamar mandinya tidak terdapat fasilitas bath-up. Adalah pendingin ruangan di kamar ini yang amat sangat membuatku jengkel. Pengatur suhunya tidak konsisten dengan angka yang tertulis di remote. Ini salah. Sangat salah. Bagaimana mungkin ketika aku mengatur agar suhu kamar berada di angka 28 tapi nyatanya malah ada di angka 18. Aku tahu ketika melihat dan mencocokkan angka tersebut di display telepon genggam milik papa. Aku memang tidak suka menggunakan pendingin ruangan. Di rumahku, cuma kamarku sendiri yang tak tersentuh peradaban teknologi satu itu. Aku tetap setiap kepada kipas angin. Bukan karena aku katrok atau ndeso, tapi memang karena aku tidak kuat dingin.
Tampaknya tidak ada yang kurang dibawaan yang aku bawa. Semua sudah lengkap. Koper kainku yang besar aku isi dengan baju, kaos, celana, sarung, sajadah dan jaket. Sementara tas tangan sudah aku jejali dengan peralatan mandi : 4 batang sabun mandi, 1 pak sikat gigi (isi 5 buah) ukuran medium, 2 pak odol ukuran jumbo dan 2 botol shampo. Juga ada bedak ketiak penghilang bau badan BB Harum Sari, 1 kotak. Dan terakhir ada handuk kesayanganku. Handuk tebal dan besar berwarna biru tua. Mama sempat menawarkan agar handuk itu ditinggal saja di rumah, sebagai ganti aku dibelikan handuk baru. Aku menolaknya. Bagiku, handuk adalah aset penting dan sangat pribadi. Tidak dapat tergantikan kecuali ketika handuk itu sudah memasuki masa uzur : sobek dan berlubang. Lagipula, handuk itu pemberian Ibu (nenek) saat aku ulang tahun ke-10. Dan aku menganggap bahwa itu adalah sangat spesial. Sementara tas punggungku didapuk mewadahi buku tulis serta buku panduan sekolahku yang baru.
Ya, aku akan memulai jenjang pendidikan terusan. Sejak kelas 4 SD aku sudah bisa berangan-angan tentang bagaimana nuansa akademik di tempat yang telah aku tentukan ini. Agak random memang, karena pilihanku jatuh saat aku mengikuti kegiatan safari ramadhan di Semarang. Waktu itu liburan caturwulan, mama dan papa memberikanku pilihan untuk mengisi liburanku, pulang ke Surabaya dan menghabiskan waktu bersama ibu atau berkutat dengan rancangan kegiatan islami yang dikemas dalam paket safari ramadhan. Aku bimbang. Aku galau. Sebenarnya pulang ke Surabaya jelas lebih menarik perhatianku. Tapi aku juga sedikit penasaran dengan salah satu penawaran yang diberikan dalam paket safari ramadhan itu : rihlah pesantren. Bayanganku tentang kata rihlah adalah sama seperti arena bermain yang saat ini dikenal dengan waterboom atau waterpark. Agak ndeso ya bayanganku satu ini. Karena jelas beda makna. Maklum, yang aku pahami kata berawalan ri- adalah risoles. Selain itu, meneketehe deh.
Jalanan kota Solo masih terasa lenggang pagi ini. Dari tempatku menginap di Hotel Asia, kutelusuri jalanan Monginsidi hingga Slamet Riyadi dengan kagum. Kota ini seperti kota tak berpolusi. Udaranya sejuk. Semilir angin yang menerpa wajahku juga terasa sejuk. Aku lihat Matahari Diamond disisi kanan jendela mobilku. Paling tidak kota ini masih bisa mengikuti perkembangan fashion seperti kota-kota besar lain. Bunyi derum mesin berat terdengar di belakang. Seketika aku menoleh, wujud itu lama sekali tak singgah dimataku, sosok tinggi dan kotak yang sungguh klasik : bus tingkat. Ya, begitu kagum aku saat mengetahui alat transportasi rakyat itu masih saja eksis, meski hanya di kota kecil seperti Solo ini. Dan aku masih sangat terkagum-kagum ketika kendaraan kotak besi itu melewati samping mobilku. Gagah dan kuno.
Slamet Riyadi terasa begitu panjang. Jalan utama Solo ini aku lewati dengan perlahan. Aku yakin papa juga menikmati perjalanan ini. Sekaligus menikmati detik-detik perpisahan denganku nanti. Radio mobil mati. Suasanan hening. Hanya terusik dengan beberapa selingan suara motor dan kendaraan lain yang melintas disekitar mobilku. Hingga akhirnya aku tersadar bahwa lampu bangjo di depan adalah batas akhir, menuju belokan ke arah rumahku menuntut ilmu.
*bersambung*
Jalanan kota Solo masih terasa lenggang pagi ini. Dari tempatku menginap di Hotel Asia, kutelusuri jalanan Monginsidi hingga Slamet Riyadi dengan kagum. Kota ini seperti kota tak berpolusi. Udaranya sejuk. Semilir angin yang menerpa wajahku juga terasa sejuk. Aku lihat Matahari Diamond disisi kanan jendela mobilku. Paling tidak kota ini masih bisa mengikuti perkembangan fashion seperti kota-kota besar lain. Bunyi derum mesin berat terdengar di belakang. Seketika aku menoleh, wujud itu lama sekali tak singgah dimataku, sosok tinggi dan kotak yang sungguh klasik : bus tingkat. Ya, begitu kagum aku saat mengetahui alat transportasi rakyat itu masih saja eksis, meski hanya di kota kecil seperti Solo ini. Dan aku masih sangat terkagum-kagum ketika kendaraan kotak besi itu melewati samping mobilku. Gagah dan kuno.
Slamet Riyadi terasa begitu panjang. Jalan utama Solo ini aku lewati dengan perlahan. Aku yakin papa juga menikmati perjalanan ini. Sekaligus menikmati detik-detik perpisahan denganku nanti. Radio mobil mati. Suasanan hening. Hanya terusik dengan beberapa selingan suara motor dan kendaraan lain yang melintas disekitar mobilku. Hingga akhirnya aku tersadar bahwa lampu bangjo di depan adalah batas akhir, menuju belokan ke arah rumahku menuntut ilmu.
*bersambung*